Inilah biografi atau riwayat hidup KH. Abdurahman Wahid dari pertama lahir hingga tutup usianya, informasi biografi atau riwayat hidup Gusdur ini diambil dari beberapa referensi, moga bermanfaat :
BIOGRAFI/RIWAYAT HIDUP GUSDUR/KH. ABDURAHMAN WAHID
Kiyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.
Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta. Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur.
Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini.
Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial.
Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.
Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat. Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU. Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode berikutnya. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan Soeharto. Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan pemerintah, Soerjadi.
Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke pada Januari 1998.
Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi. Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput. Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.
Kehidupan pribadi Gusdur
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.
Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan Gusdur
Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:
* Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
* Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
* Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
* Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
* Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
* Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
* Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Oleh K.H.A.Mustofa Bisri
Sampai saat ini, pastilah belum - atau tak pernah - ada orang yang bisa menandingi Gus dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Itu. Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu fanatic dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah "Walaqad karramnaa banii Adama..." (Q.17:70), mungkin akan menjulukinya Humanis. Mereka yang melihatnya begitu ‘taat' dan gigih mengikuti jejak orangtua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan me-laqabi-nya Nasionalis. Mereka yang melihat kiprahnya di bidang kesenian dan budaya (ingat Gus Dur pernah menjadi ketua DKJ dan juri FFI), menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang menyaksikannya sering mengisi acara dalam seminar-seminar dan menuliskan pemikiran-pemikirannya, menjulukinya cendekiawan dan pemikir. Demikian seterusnya. Pendek kata karena pergaulan dan perhatiannya sedemikian luas, sebagai public figure, Gus Dur pun mendapat julukan macam-macam. Orang yang suka, menjulukinya dengan julukan-julukan yang baik-baik; sedangkan mereka yang tidak suka pun dengan bebas menjulukinya dengan julukan-julukan yang buruk-buruk.
Bahkan seringkali satu sikap yang sama dari Gus Dur dipandang berbeda oleh dua pihak yang berlawanan. Yang suka memandangnya sebagai hal yang positif dan yang tidak suka tentu saja memandangnya negatif. Maka jangan heran bila suatu ketika Gus Dur dicap plin-plan oleh satu pihak dan dalam ketika yang sama, pihak lain mengatakan bahwa Gus Dur sedang melakukan taktik sesuai strateginya. Melihat ke-nyleneh-an Gus Dur, satu pihak menganggapnya gila, satu pihak yang lain menganggapnya wali.
Begitu aja kok repot Jadi, entah mana yang lebih dahulu: sikap Gus Dur yang menimbulkan pro-kontra, kemudian terjadi ada yang suka dan yang tidak suka; atau sebaliknya: ada yang suka dan tidak suka kepada Gus Dur, lalu melihat apapun sikap Gus Dur dengan kacamata masing-masing? Bagaimanapun, Gus Dur sendiri ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Atau bahkan Gus Dur-lah 'akar masalah'-nya.
Yang saya tahu, Gus Dur itu - meski orang Jawa - tidak termasuk jenis orang yang senang menyimpan apa yang dia ingin katakan atau lakukan, bahkan apa yang dia pikirkan. Keyakinannya bahwa perbedaan itu merupakan hal yang fitri dan termasuk bagian dari sunnatullah begitu kuat, sehingga tidak pernah ada padanya rasa khawatir sedikitpun bahwa apa yang akan ia katakan atau lakukan tidak disetujui orang lain. Dia juga sering kali tidak setuju sikap orang, mengapa pusing-pusing dengan ketidaksetujuan orang terhadap sikapnya. Diantara kata-katanya yang masih saya ingat setiap habis berterusterang (diucapkan ketika kami- saya dan Gus Dur- masih suka jalan-jalan bersama di Kairo tempo dulu), "saya katakan atau tidak, itulah pendapat saya". Dan dia lebih suka mengatakannya. Pikirannya mungkin, kalau tidak saya kemukakan, bagaimana orang tahu sikap atau pendapat saya ?.
Orang lain mungkin ada berfikir, sesuatu yang diyakini benar atau baik, belum tentu benar dan baik dikatakan. Gus Dur saya kira tidak begitu. Bila dia meyakini apa yang akan dikatakan benar, dia akan mengatakannya. Bila dia yakin sesuatu baik dilakukan, dia akan melakukannya. Kalau dia sangat yakin dia akan ngotot. Orang nantinya tidak setuju ya biar. Dia sendiri kan juga sering tidak setuju pendapat atau sikap orang lain. Kalau orang lain yang tidak setuju juga ngotot? ya adu argumen. Begitu saja kok repot !...
Contoh yang masih segar dalam ingatan adalah pendapatnya mengenai pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Itu pendapatnya; dia katakan atau tidak. Gus Dur mungkin tidak mempertimbangkan reaksi orang terhadap pendapatnya iru, terutama reaksi orang yang sejak awal tidak menyukainya. Dia kelihatanya juga cuek kalaupun pendapatnya itu bisa dijadikan senjata bagi mereka yang tidak menyukainya untuk menyerang atau menyudutkannya. 'saya toh cuma menyampaikan pendapat.' Begitu mungkin pikirnya. Tentu tak terpikirkan oleh Gus dur bahwa orang kita masih banyak yang tomtomen, trauma dengan kebiasaan zaman Presiden Soeharto yang kalau punya pendapat akan menjadi kenyataan, karena MPR dan DPR waktu itu dan selama orde baru hanya ikut apa kata presiden. ‘keberanian berbeda' itu saya pikir, antara lain dan terutama karena Gus Dur sudah terbiasa berbeda dalam lingkungannya, termasuk dalam keluarganya. Almarhumah Ibu Wahid Hasyim (saya mengenal sebelum saya kenal Gus Dur) adalah seorang ibu dan sekaligus kepala keluarga yang- seperti juga Almarhum Kiai Wahid Hasyim sendiri, rahimahumallah-sangat democrat, dan menghormati perbedaan. Lihatlah putra-putra beliau dalam pemilu kemarin, Gus Dur mendukung PKB, Mbak A'isyah Golkar, Mas Solahuddin di PKU, dan Gus Hasyim di PDI-P.
Kakek-Kakek, paman-paman, dan kiai-kiainya yang saya kenal, juga orang-orang yang minimal tidak pernah menganggap perbedaan sebagai hal yang haram. Kiai Bisri Sansuri dan Kiai Wahab Hasbullah, ‘dwi tunggal' yang hampir tidak pernah berpisah dalam memimpin NU -Allah Yarhamhum-misalnya, hampir selalu berbeda pendapat dalam berbagai persoalan, Mungkin karena yang satu pendekatannya lebih kepada fiqh dan yang lain ushul fiqh. Dan terbukti perbedaan antara mereka yang sering kali begitu tajam, tidak pernah menimbulkan persoalan di kalangan NU; bahkan banyak yang menganggapnya rahmah.
Satu dan lain hal, karena orang NU banyak; jadi dalam masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak, ada yang merasa mantap didukung Kiai Bisri, ada yang merasa ayem diayomi Kiai Wahab. Pak Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, mungkin andapun sudah tahu sendiri; bagaimana setiap kali berbeda bahkan saling kecam dengan keponakannya yang dicintainya itu.
Diantara Kiai-Kiai Gus Dur yang sempat saya kenal secara pribadi, antara lain Kiai A. Fattah dan Kiai Ali Maksum - Allah yarhamhum. Mereka juga demikian. Mereka ini mungkin sedikit Kiai yang mau - bahkan agaknya senang - berdikusi dengan anak-anak muda, termasuk santrinya sendiri.
Dipuja sekaligus dibenci Konsekuensi -yang barangkali sangat disadari oleh Gus Dur sendiri- dari sikapnya yang tidak suka ‘memendam sikap' dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang itu, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini menurut saya justru lebih merugikan kedua belah pihak yang memuja dan membencinya, katimbang Gus Dur sendiri.
Orang yang memuja atau membenci -dua sikap tatharruf yang tak mungkin jejeg- bisa dipastikan tidak akan mampu bersikap adil dan obyektif. Anda dapat membuktikannya sendiri dalam kumpulan pendapat di buku ini.Pendapat -pendapat dalam buku ini adalah pendapat-pendapat tokoh intelektual dan pakar. Ketidakadilan dan ketidak-obyektifan mereka yang memuja atau membenci itu, tidak hanya terhadap hal yang menyangkut pribadi Gus Dur sendiri, tapi bisa merembet ke hal-hal lain yang ada kaitannya dengan pembicaraan mereka tentang Gus Dur.
Dalam hal ini, menurut saya, pendapat mereka tak akan banyak manfaatnya, kecuali mungkin untuk memuaskan diri mereka sendiri.
Sebagai cantoh, saya mendapati dalam sementara tulisan dibuku ini, kekeliruan yang tidak seharusnya terjadi seandainya si penulisnya tidak terlanjur dihinggapi sikap tatharruf, seperti misalnya penyebutan "Kembali ke Khittah 26" untuk " Khittah Nahdlatul Ulama" dan anggapan bahwa khitthah Nahdlatul Ulama itu merupakan pikiran Gus Dur yang merupakan sikap politik dan didorong oleh kepentingan politik. (Orang-orang yang ikut merumuskan Khitthah dari awal bersama Gus Dur, masih banyak yang hidup. Mereka mungkin akan tertawa atau sedih melihat bagaimana orang bicara begitu pasti tentang Khitthah yang sama sekali tidak dia mengerti; hanya semata-mata karena koran terlanjur menyebutnya ahli, pakar atau peneliti).
Bila tokoh intelektual dan pakar saja bisa kehilangan sikap adil dan obyektivitas, ketika membicarakan Gus Dur, bagaimana dengan yang lain ?
Waba'du; boleh jadi - wallahu a'lam - Gus Dur memang merupakan 'pelajaran' atau 'pengajaran' paling keras dari Allah kepada bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini.
Mulai zaman kerajaan hingga 'raja' Soeharto, bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu dididikan oleh para penguasanya - terutama penguasa orde baru - adalah penyeragaman (ingat kuningisasi kemarin yang sengaja digalakkan seperti halnya korupsi, koneksi, nepotisme, pelecehan hukum dsb.) Hingga tanpa terasa, di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker, Perbedaan sekecil apapun disini bisa menjadi masalah. Orang yang berbeda diidentikkan dengan musuh, Dan pada gilirannya orang pun sulit bersikap adil dan obyektif. Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus hanya -atau baru- menjadi impian dan slogan. Bagaimana demokrasi bisa hidup di negeri dimana bangsanya tidak mampu berbeda dan bersikap adil ?
Penjelasan tentang ke-fitri-an perbedaan dan anjuran bersikap serta berpikir adil dari agama sendiri seolah-olah tidak mempan menginsyafkan kaum beragama di negeri ini; kemungkinan besar ya akibat pendidikan penyeragaman dan ketidakadilan yang begitu lama dan intens itu.
Barangkali - dan mudah-mudahan - karena sayang Allah kepada bangsa ini, Ia pun terus 'mengingatkan' dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontroversial yang - betapapun ingin kita menyeragamkan- tak pernah dapat menyatukan pandangan kita. Ambil contoh, berulangkalinya terjadi perbedaan hari raya, baik iedul fitri maupun adha. Betapapun hebatnya argumen masing-masing pihak, tetap saja tak mampu membuat pihak lain sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri. (Iedul Adha kemarin malah lebih istimewa. Keputusan atau Ikhbar PBNU berbeda dengan keputusan pemerintah yang nota bene presidennya mantan ketua umum dan menteri agamanya mantan rais syuriyah PBNU. Bagaimana anda menjelaskan fenomena ini ?).
Boleh jadi karena berkali-kali kita tidak bisa mencerdasi ‘pelajaran-pelajaran' Allah yang diberikan secara itu, Ia pun memberikan pelajaran puncak : memberikan kepada kita seorang imam yang paling kontroversial yang pernah dimiliki Republik Ini. Tokoh kontroversial yang sedikit pun tidak mempunyai rasa takut terhadap perbedaan. Gus Dur!
Dipilih Allah
Bukan Poros Tengah yang memberi kita presiden Gus Dur, bukan Amien Rais, bukan NU, apalagi PKB - partai yang dideklarasikan Gus Dur sendiri. Tanyakan kepada hati kecil orang-orang Poros Tengah dan fraksi-fraksi maupun faksi-faksi yang ada di MPR, termasuk Amien rais sendiri: apakah Gus Dur memang menjadi pilihan mereka untuk menjadi Presiden ? Asal mereka jujur kepada diri sendiri, saya berani bertaruh mereka semua pasti akan menjawab tidak.
Dari sekaian juta orang yang segar bugar, sekian ribu politisi, sekian ribu ahli politik, sekian ribu tokoh masyarakat, dan sekian ribu pakar tata-negara; bukankah aneh, Gus Dur yang terpilih menjadi presiden? Perlu diingat pula, Gus Dur yang secara resmi bukan tokoh partai politik maupun tokoh pemerintahan yang sedang berkuasa dan bukan pula milioner, dipilih secara demokratis - bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini - oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa -tidak seperti kemarin-kemarin - menyampaikan aspirasinya sebebas-bebasnya. Gus Dur dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya tidak lagi ada yang sakit gigi seperti tempo hari.
Jadi, minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur -tokoh kontroversial sejati yang ‘suka' berbeda ini- memang dipilih Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus-menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Wallahu a'lam.
Labels
- Foto (2)
- lingkungan hidup (1)
NGEBEL

Naik Kuda Broo....
RUMAH KACA. DIMANA JALAN KELUAR????
KEHAUSAN???
Di Pacitan
Jumat, 21 Mei 2010
GUS DUR
Blog Archive
-
▼
2010
(27)
-
▼
Mei
(15)
- PAK RIAN
- PAK WARIPAK ERWIN
- pak adib dan pak nurpak aan dan pak yusufpak kiai ...
- GUS DUR
- TIGA KUNCI HIDUP BAHAGIA
- 8 KESALAHAN YANG MENGUBAH DUNIA
- Jangan Pernah Menyerah
- kemenangan-menjadi-hal-termanis
- jatuh-dan-berani-bangkit
- YAKINLAH ANDA BISA!!!!!!!!!!!
- hidup-adalah-pilihan-maka-pilihlah
- Sejarah Internet dan Perkembangannya
- 10 Proyek Besar Yang Tidak Jadi Dibangun
- 8 Penemuan Besar Dalam Sejarah Peradaban Manusia
- golongan-darah-menentukan-masa-depan
-
▼
Mei
(15)
Musik.... tuk anak muda
MAKESTA IPNU

ALOHA...... Pak wari
Pegang Matahari Gadungan
BERILMU, BERAMAL DAN BERTAQWA

TEMU ALUMNI